Pada mulanya, aku ga tertarik dengan buku ini, apalagi saat melihat judul dan cover-nya. Tapi, lagi-lagi berbekal situs goodreads dengan rating yang tinggi 4 dari 5 maka aku pun mencobanya. Saat membaca Kusni Kasdut adalah penjahat fenomenal yang berhasil lolos dari penjara berulang kali … Aku langsung, ‘Hah!? Penjahat kenapa sampai dibuatkan bukunya!” Tapi, memang sih aku pengin tahu bagaimana jalan cerita dari sudut pandang seorang penjahat a.k.a tokoh antagonis karena selama ini menurutku banyak sekali dari tokoh protagonis. Ya, kita ga pernah tahu sisi kehidupan seseorang tanpa menelusurinya.
Ternyata Kusni Kasdut
pernah ikut berjuang membela negara pada masa revolusi nasional Indonesia, itu
yang membuatku salut. Aku pernah membaca di Kaskus, ada sebuah ungkapan ‘Jika
kemiskinan itu selalu jadi alasan dibalik aksi-aksi kriminal.’ hal ini ternyata
benar seperti yang dialami Kusni Kasdut. Ia lahir dari keluarga miskin
mendambakan harkat diri yang tak ditemukannya. Sampai ia mempertanyakan arti
pengorbanan setelah selalu menemui kegagalan dari pergulatan pahitnya hidup dan
pertentangan pedihnya batin.
Kusni waktu dulu pernah
masuk Heiho (tantara pembantu) saat Indonesia masih dijajah Jepang, yang
dilatih sangat keras oleh tentara pendudukan Jepang di Malang. Setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Kusni bergabung dengan TKR (tentara
keamanan rakyat) bergerilya hingga Surabaya menghadapi pasukan sekutu dari
Inggris. Inggris ingin melucuti senjata Jepang sedangkan Indonesia mau senjata itu setelah Jepang menyerah kepada sekutu dan kembali ke negaranya. Kusni juga bergabung dengan laskar Brigade Teratai yang anggotanya
dari copet, rampok, germo, wanita panggilan selain TNI. Kusni mengambil emas
dan berlian milik warga keturunan Tionghoa untuk modal perang dan memukan
Meriam tentara Belanda untuk melawan Belanda.
Kusni sering ditangkap
pasukan Belanda, dipukuli dan dijebloskan ke Penjara tapi juga selalu bisa
meloloskan diri. Kusni kecewa tak bisa masuk TNI karena luka di kakinya. Ia
mengurus surat pernyataan bekas pejuang dan ke Biro Rekonstruksi Nasional
(tempat penempatan bekas pejuang) di Jakarta, namun tak mendapat jawaban
(pekerjaan).
Empat tahun ikut berjuang
demi tanah air, tapi dalam sekejab menjadi orang susah. Hingga akhirnya Kusni
bersama temannya memeras dengan modus penculikan orang kaya yang hasilnya
dibagi-bagi kepada sesama pejuang. Kusni juga merampok hartawan Arab hingga terbunuh
yang waktu itu belum banyak terjadi seperti sekarang. Aksi nekat lainnya
merampok perhiasan emas dan berlian koleksi Museum Nasional Jakarta senilai Rp.
2,5 miliar pada tahun 1963.
Kusni ditangkap ketika
akan menjual sisa hasil curiannya, sempat melarikan diri hingga beberapa kali
pindah penjara. Ia tercatat sudah delapan kali kabur dari penjara. Sampai
pengajuan grasinya ditolak Soeharto menjelang eksekusi mati. Kusni melukis Gereja
Katedral Jakarta di hari-hari senggangnya dan lukisan itu dipajang di Museum
Katedral Jakarta.
Quotes menarik dalam
buku.
“Kalau tak ada kemurahan
hati, keraslah! Kalau tak ada harga diri, rebutlah!”
“Begitulah manusia,
pikirnya. Ia hanya berani waktu musuhnya lemah.”
“Apa sebenarnya yang
gelap di dunia ini? Pohon dan batu tetap di tempatnya. Air dan angin mengalir
dan berembus seperti sediakala. Matahari terbit di timur dan terbenam di barat.
Semua di sana. Hanya hati manusia yang berubah. Apa yang perlu dirisaukan?”
“Bapak jangan lupa, saya
ini dokter! Tugas saya menyembuhkan bukan menambah penderitaan!”
“Tapi revolusi telah
memberi sesuatu yang tak ternilai harganya kepada mereka semua: pengalaman
dalam pengorbanan. Atau lebih tepat, kesempatan menggunakan kemampuan
semaksimal mungkin. Ia telah memberi kesempatan kepada para pejuang untuk
menikmati harga dirinya. Berapa orangkah yang beruntung memperoleh saat
melakukan sesuatu dengan segala kemampuan dan kegairahan yang ada, tanpa udang
dibalik batu, tanpa nafsu-nafsu pribadi?”
“Apa yang sudah dilakukan
tak mungkin ditiadakan lagi. Dan bohong melelahkan kehidupan, karena bohong
menuntut kebohongan lain untuk mendukungnya. Terus begitu tanpa akhir, sehingga
orang tak pernah jadi dirinya sendiri dan banyak kesusahan yang ditimbulkan.”
“Sebab apa yang mengubah
hidupnya pada akhirnya apa yang bisa dikerjakannya, sebab apa yang bisa
dikerjakan tumbuh dalam kemungkinan yang melingkunginya. Maka ia senantiasa
siap, tanggap, dan cermat dengan lingkungan, sehingga tanpa disadarinya ia
sibuk dengan menyenangkan. Keinginan dan nafsu tak sempat merembes dari apa
yang mungkin dilakukannya saat itu juga.”
“Tapi dunia dan kehidupan
ini rupanya bukan untuk ditaklukkan tapi dihidupi.”
“Tiap orang menemukan
kemungkinan untuk berbuat di atas semua ini tanpa ditanyakan pangkat dan harga
diri.”
“Bahwa satu hal yang
sangat penting bagi manusia, ia lebih beruntung dari kebanyakan orang.
Dipelajari dan dipahaminya banyak hal langsung dari perbuatan, langsung dari
kehidupan. Hampir tidak ada dari buku, hampir tidak ada dari kabar angin, hampir
tidak ada dari tontonan, hampir tidak ada dari petuah.”
Perjalanan hidup seorang
bromocorah legendaris menginspirasi lagu ‘Selamat Pagi Indonesia’ dari grup
music rock, God Bless.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar