Hello it’s me
I was wondering if after all these years you’d like to meet …
Eh itu lirik lagunya Hello – Adele ya. No, kali ini aku akan mereview Hello juga tapi ini novelnya Tere Liye. Menurutku novel ini punya
bahasa yang ringan, alur ceritanya juga tidak berat, sehingga bisa kuselesaikan
dalam waktu lebih dari tujuh jam itu karena penasaran juga sih akan
endingnya xixi. Cover novel ini bergambar rumah cantik dengan pepohonan palem
di sekelilingnya. Awal mula aku bingung juga kalau Hello itu identik dengan
telepon ya, kok ga ada gambarnya juga gitu hm. Tapi, itulah persoalannya karena
rumah ini berdampak besar dari seluruh kehidupan tokoh utama.
Novel ini memiliki alur yang maju mundur
karena diceritakan seorang wanita paruh baya kepada gadis berumur 24 tahun dan bernama
Ana. Ana yaitu seorang arsitek yang cerdas, mandiri, pekerja keras buktinya dia
bekerja sambil kuliah padahal sudah menjadi pemimpin di kantornya. Malah Ana
juga tidak punya privilege dari keluarga kaya raya tapi karena didikan dan
terinspirasi pamannya yang super keren.
Tokoh utama di novel ini yaitu Hesty dan Tigor. Persahabatan
mereka dari bayi dan berbeda latar belakang ini bisa dibilang penuh keseruan, perjuangan,
pengorbanan yang mengharukan. Apa artinya status sosial bila sepasang sahabat selalu
punya hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Pertemuan kedua sahabat di rumah
itu menghasilkan banyak momen begitu berarti di sepanjang kehidupan dan
keluarga mereka.
Aku suka sekali dengan persaudaraan kompak Hesty dan
kakak-kakaknya yaitu Rita dan Laras. Meski berasal dari keluarga berkecukupan tetap menjadikan mereka pribadi yang rendah hati dan saling
mendukung satu sama lain. Anak-anak cerdas yang tetap berbakti pada
kedua orang tua, semuanya sekolah kedokteran untuk menjadi dokter kecuali Hesty
karena dia punya keinginannya sendiri yaitu punya usaha kerajinan dan hobi
potret pemandangan melalui keliling dunia. Itu sih tidak masalah, karena semua
punya pilihan sendiri dalam hidupnya selama itu baik dan bisa
dipertanggungjawabkan.
Tigor, anak asisten rumah tangga yang sedari kecil sudah
dididik oleh orang tuanya untuk menjadi seorang yang rajin, suka membantu, mandiri
dan pekerja keras. Ia mau berusaha dan membuat kualitas
hidupnya menjadi lebih baik. Meski orang tua tidak menaruh harapan dan berambisi supaya dia
menjadi orang yang berhasil dalam sekolah tinggi, Tigor berjuang keras
mewujudkannya.
Aku suka petualangan Tigor dan Hesty di masa kecil, bermain
layangan, pulang sekolah mampir ke pasar, berboncengan naik sepeda dan lain
sebagainya. Sama seperti yang dikatakan Rita, “Dulu aku pikir kamu bodoh
sekali, Hesty. Anak super nakal.” Rita masih menatap adiknya. “Tapi sekarang
aku berubah pikiran. Kamu sungguh beruntung, Hesty. Kamu punya masa
kanak-kanak, remaja yang seru. Tigor. Itu yang membuatmu sangat beruntung, kamu
punya Tigor. Permainan seru, petualangan seru. Sementara aku dan Laras hanya
menjalani kehidupan biasa-biasa saja di istana megah ini. Penuh peraturan dan
larangan.”
Aku juga suka saat Hesty dan Tigor berbalasan surat, apalagi
saat mereka mengunjungi museum. Aku suka pula dengan Patrisia, sahabat yang juga berperan penting dalam kehidupan Hesty. Lalu, Ana perannya juga tidak
kalah penting dalam hubungan tokoh utama. Orang tua Hesty begitu pula dengan
Tigor, meskipun mereka mencoba cara yang sempurna dalam mendidik kehidupan anaknya
walau tidak selalu juga tapi mereka menyayangi anaknya.
Terakhir, beberapa kutipan yang kusuka dengan adik (karena dia juga
baca novel ini dan novel itu juga kepunyaannya):
“Aku tahu aku bukan pejabat tinggi seperti papamu. Wajahku
juga tidak tampan-tampan amat, kata Patrisia. Apakah, eh, apakah kamu mau
menikah denganku, Hesty?”
“Kamu tidak perlu menjanjikan apa pun, Tigor. Dan tidak
perlu membuktikan apa pun. Sejak kecil kamu sudah menjaga Hesty. Seorang diri
bertarung dengan ular besar yang panjangnya hampir dua kali tubuhmu.”
“Jika tidak kamu lakukan, catat baik-baik, berarti kamulah
yang tidak pantas mendapatkan Hesty. Masalahnya tidak pernah di papa Hesty.
Masalahnya di kamu, kamu gampang menyerah, kamu memang tidak pantas menikah
dengan teman baikku.”
“Ana sejak dulu tahu, rumah tidak pernah hanya sekadar
bangunan fisik tanpa jiwa. Rumah selalu memiliki kenangan. Dinding-dindingnya
saksi bisu, jendela-jendelanya, daun pintunya, menyaksikan interaksi
penghuninya.”
“Karena ketahuilah, sumber ketidakbahagiaan besar di dunia ini adalah: berharap-lebih-lebih saat kita berharap terlalu banyak. Ketika hasilnya tidak sesuai, muncullah kecewa. Akan beda jadinya jika kita tidak berharap, apa pun hasilnya , kita tetap akan baik-baik saja. Apalagi saat akhirnya sangat spesial, kita akan lega sekali”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar