Selasa, 19 September 2023

Review Novel Hello - Tere Liye

Hello it’s me

I was wondering if after all these years you’d like to meet …

Eh itu lirik lagunya Hello – Adele ya. No, kali ini aku akan mereview Hello juga tapi ini novelnya Tere Liye. Menurutku novel ini punya bahasa yang ringan, alur ceritanya juga tidak berat, sehingga bisa kuselesaikan dalam waktu lebih dari tujuh jam itu karena penasaran juga sih akan endingnya xixi. Cover novel ini bergambar rumah cantik dengan pepohonan palem di sekelilingnya. Awal mula aku bingung juga kalau Hello itu identik dengan telepon ya, kok ga ada gambarnya juga gitu hm. Tapi, itulah persoalannya karena rumah ini berdampak besar dari seluruh kehidupan tokoh utama.

Novel ini memiliki alur yang maju mundur karena diceritakan seorang wanita paruh baya kepada gadis berumur 24 tahun dan bernama Ana. Ana yaitu seorang arsitek yang cerdas, mandiri, pekerja keras buktinya dia bekerja sambil kuliah padahal sudah menjadi pemimpin di kantornya. Malah Ana juga tidak punya privilege dari keluarga kaya raya tapi karena didikan dan terinspirasi pamannya yang super keren.

Tokoh utama di novel ini yaitu Hesty dan Tigor. Persahabatan mereka dari bayi dan berbeda latar belakang ini bisa dibilang penuh keseruan, perjuangan, pengorbanan yang mengharukan. Apa artinya status sosial bila sepasang sahabat selalu punya hal yang menyenangkan untuk dilakukan. Pertemuan kedua sahabat di rumah itu menghasilkan banyak momen begitu berarti di sepanjang kehidupan dan keluarga mereka.

Aku suka sekali dengan persaudaraan kompak Hesty dan kakak-kakaknya yaitu Rita dan Laras. Meski berasal dari keluarga berkecukupan tetap menjadikan mereka pribadi yang rendah hati dan saling mendukung satu sama lain. Anak-anak cerdas yang tetap berbakti pada kedua orang tua, semuanya sekolah kedokteran untuk menjadi dokter kecuali Hesty karena dia punya keinginannya sendiri yaitu punya usaha kerajinan dan hobi potret pemandangan melalui keliling dunia. Itu sih tidak masalah, karena semua punya pilihan sendiri dalam hidupnya selama itu baik dan bisa dipertanggungjawabkan.

Tigor, anak asisten rumah tangga yang sedari kecil sudah dididik oleh orang tuanya untuk menjadi seorang yang rajin, suka membantu, mandiri dan pekerja keras. Ia mau berusaha dan membuat kualitas hidupnya menjadi lebih baik. Meski orang tua tidak menaruh harapan dan berambisi supaya dia menjadi orang yang berhasil dalam sekolah tinggi, Tigor berjuang keras mewujudkannya.

Aku suka petualangan Tigor dan Hesty di masa kecil, bermain layangan, pulang sekolah mampir ke pasar, berboncengan naik sepeda dan lain sebagainya. Sama seperti yang dikatakan Rita, “Dulu aku pikir kamu bodoh sekali, Hesty. Anak super nakal.” Rita masih menatap adiknya. “Tapi sekarang aku berubah pikiran. Kamu sungguh beruntung, Hesty. Kamu punya masa kanak-kanak, remaja yang seru. Tigor. Itu yang membuatmu sangat beruntung, kamu punya Tigor. Permainan seru, petualangan seru. Sementara aku dan Laras hanya menjalani kehidupan biasa-biasa saja di istana megah ini. Penuh peraturan dan larangan.”

Aku juga suka saat Hesty dan Tigor berbalasan surat, apalagi saat mereka mengunjungi museum. Aku suka pula dengan Patrisia, sahabat yang juga berperan penting dalam kehidupan Hesty. Lalu, Ana perannya juga tidak kalah penting dalam hubungan tokoh utama. Orang tua Hesty begitu pula dengan Tigor, meskipun mereka mencoba cara yang sempurna dalam mendidik kehidupan anaknya walau tidak selalu juga tapi mereka menyayangi anaknya.

Terakhir, beberapa kutipan yang kusuka dengan adik (karena dia juga baca novel ini dan novel itu juga kepunyaannya):

“Aku tahu aku bukan pejabat tinggi seperti papamu. Wajahku juga tidak tampan-tampan amat, kata Patrisia. Apakah, eh, apakah kamu mau menikah denganku, Hesty?”

“Kamu tidak perlu menjanjikan apa pun, Tigor. Dan tidak perlu membuktikan apa pun. Sejak kecil kamu sudah menjaga Hesty. Seorang diri bertarung dengan ular besar yang panjangnya hampir dua kali tubuhmu.”

“Jika tidak kamu lakukan, catat baik-baik, berarti kamulah yang tidak pantas mendapatkan Hesty. Masalahnya tidak pernah di papa Hesty. Masalahnya di kamu, kamu gampang menyerah, kamu memang tidak pantas menikah dengan teman baikku.”

“Ana sejak dulu tahu, rumah tidak pernah hanya sekadar bangunan fisik tanpa jiwa. Rumah selalu memiliki kenangan. Dinding-dindingnya saksi bisu, jendela-jendelanya, daun pintunya, menyaksikan interaksi penghuninya.”

“Karena ketahuilah, sumber ketidakbahagiaan besar di dunia ini adalah: berharap-lebih-lebih saat kita berharap terlalu banyak. Ketika hasilnya tidak sesuai, muncullah kecewa. Akan beda jadinya jika kita tidak berharap, apa pun hasilnya , kita tetap akan baik-baik saja. Apalagi saat akhirnya sangat spesial, kita akan lega sekali”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar